Sejarah Desa Cigugur
SEJARAH DESA CIGUGUR ( TAK KENAL GUGUR )
KISAH bermula ketika
pada 1822 (versi lain menyebut tahun 1859) lahirlah seorang bayi
laki-laki dari rahim Nyi Raden Kastewi. Ayah sang bayi adalah Pangeran
Sutawijaya Alibassa Wijayaningrat, seorang Pangeran yang memerintah di
Kepangeranan Gebang, sebuah wilayah otonom yang memiliki pemerintahan
sendiri pada awal abad awal ke-18 di sebelah timur Kesultanan Cirebon.
Sejarah mencatat, sebelum Banten, Sunda Kelapa, dan Caruban (Cirebon)
dikenal sebagai pelabuhan penting, Gebang telah memerankan fungsi
kemaritiman di pantai utara Jawa, sebelum kelak dilumpuhkan secara
sistematis oleh Pemerintah Hindia Belanda yang “meminjam tangan”
kekuasaan politik lokal pada masa itu.
Kembali pada kisah Kiai
Madrais. Selain sebagai pemimpin Keraton Gebang, ayah Kiai Madrais
adalah seorang ahli kebatinan dan pemimpin keagamaan di wilayahnya.
Sedang ibunya, Nyi Raden Kastewi, adalah keturunan bangsawan Susukan
(Ciawigebang)—sekarang wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat (ed. A.
Budi Susanto: 2007).
Ketika Gebang dalam tekanan Pemerintah
Hindia Belanda, sang istri yang sedang hamil diungsikan oleh Pangeran
Sutawijaya Alibassa ke rumah seorang kuwu (kepala desa) Padara (sekarang
Cigugur) bernama Ki Sastrawadana. Kepala desa ini adalah bekas pasukan
Mataram Islam ketika Sultan Agung, Raja Mataram kala itu, menyerang
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) ke Batavia. Ki Sastrawadana
menolak kembali ke Mataram dan memilih tinggal di Cigugur.
Sekarang ini, Cigugur yang berada di ketinggian sekitar 700 meter dari
permukaan laut (dpl) di kaki Gunung Ciremei (3.087 meter) merupakan nama
sebuah desa sekaligus ibu kota kecamatan di Kabupaten Kuningan, Jawa
Barat.
Koleksi Paseban Tri Panca Tunggal
Menurut Pangeran
Djatikusumah (79), cucu sekaligus penerus ajaran Kiai Madrais, semula
kakeknya bernama kecil Taswan. Kelak setelah dewasa bernama Sadewa
Alibassa Wijayakusuma Ningrat atau dikenal dengan nama Pangeran Surya
Nata. Pada perkembangan berikutnya, ia lebih dikenal dengan nama
Pangeran Madrais atau Kiai Madrais. Sebutan ‘kiai’ sesungguhnya sebutan
penghargaan kepada seorang tokoh atau pemimpin yang sangat dihormati dan
dituakan.
Saat berusia 10 tahun, Kiai Madrais bekerja pada Kuwu
Sagarahiang sebagai penggembala kerbau. Baru sekitar 1840 nama Kiai
Madrais mulai dikenal di Cigugur. Pada masa itu, Ki Madrais sering
berkelana keluar masuk Cigugur hingga akhirnya menetap di desa itu. Di
desa inilah Kiai Madrais mendirikan pesantren dengan mengajarkan agama
Islam. Kepada santri-santrinya, dia selalu mengingatkan untuk dapat
lebih menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri (Djawa Sunda).
Kiai Madrais dikenal oleh masyarakat awam dan kalangan pesantren,
mengajarkan tuntunan hidup yang disebut sebagai “Jati Sunda”. Pemerintah
Hindia Belanda hingga rezim Orde Baru menyebut ajaran itu dengan
sebutan Ajaran Djawa Sunda (ADS) yang merupakan kependekan dari
“andjawat lan andjawab roh susun-susun kang den tunda” atau memilih dan
menyaring roh kehidupan alam untuk menyempurnakan menjadi roh insan.
Dituturkan Djatikusumah, sebagai pemimpin umat, Kiai Madrais dikenal
memiliki cara pandang yang sangat luas dalam wawasan kebangsaan dan
kemanusiaan melalui ajaran yang menyangkut “Cara dan Ciri Manusia” yang
meliputi: welas asih (cinta kasih), tata krama (aturan berperilaku),
undak-usuk (etika bersikap), budi daya-daya budi (kreativitas dan sopan
santun berbahasa), wiwaha yuda na raga (sikap bijak dan penuh
pertimbangan) serta “Cara dan Ciri Bangsa” yang meliputi: rupa, aksara,
adat, dan budaya. Tuntunan hidup Madraisme ini dianggap berbahaya oleh
kolonial Belanda karena akan dianggap membakar semangat pariotisme dan
nasionalisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar