Jumat, 11 Maret 2016

Cerpen Lucu berjudul 'Class Sweet Class'

Class Sweet Class


Cerpen Karangan:

Angin kencang melanda bulan Oktober. Bagi kami yang tak dapat menikmati tidur siang di rumah, hal ini menjadi sangat menyebalkan. Berbagai macam raut sebal, bosan, jenuh, ngantuk dan malas membayangi kelas. Ya, kelasku, kelas baru yang paling kocak dan berisik.
Eits, bukan maksudnya buka kelas baru ya. Kami sudah kelas tiga, atau biasa disebut kelas 12. Hanya saja begitu naik kelas, diadakan pembauran, campur aduk kayak gado-gado. Biang ribut, pendiam, bikin onar, jenius, nakal, pembelot dan sebagainya bersatu. Tapi entah karena sebab apa, kelasku ini paling spesial dan seru. Ini bukan hanya argumentasiku, tapi hampir seluruh pendapat anak jurusan IPA lho. Dan aku merasa beruntung mendapat kelas ini, karena dengan begitu, aku bakal melek terus selama guru menjelaskan pelajaran. Bukan karena gurunya galak (lain ceritanya) tapi karena anak-anak yang ribut. Seperti yang terjadi hari ini.
“Eh Mon, kau lihat apa tuh di bawah meja? Kok ada cahaya-cahaya sih?” seru Reno dari bangkunya.
Bukan cuma Temon yang ngejawab, tapi hampir sebagian besar anak lainnya, “Huuu keppoo kepooo!”
“Itulah kawan bagus, pikirkanlah perasaan guru tuh yang ngajar di depan. Kau ngomong gitu konsentrasi guru jadi pecah,” kata Temon sok bijak, buru-buru memasukkan Hp nya ke kolong meja.
Reno jadi geram, usilannya berbalik maut. “Oi lihat siapa yang ngomong!”
Tapi sayang sekali, Temon mendapat dukungan penuh. Alhasil Reno kalah telak dan harus mengalah. Biasanya kalau sudah seperti itu, aku selalu terbangun dari lamunan panjangku atau kantuk yang menyerang. Kami seharian tertawa seperti orang gila. Ada-ada saja yang mereka buat. Bernyanyi, berdebat, bermain dan bercanda. Tapi kalau yang namanya olok-olokan, itu jadi makanan sehari-hari buat Saadah.
Tepatnya ketika Temon, Reno dan sekutu-sekutunya yang luar biasa heboh dan berisik (entah bintang keberuntungan apa yang menyertai, mereka bisa bersatu) melakukan lawakan. Nah, kalau ribut begitu, siapa sih, anak yang tak tertarik untuk memandang? Dan sayangnya Saadah ini lehernya paling cepat berputar untuk melihat, tapi menjadi kaku ketika ketangkap basah dilihat mereka.
“Ngapain mandang-mandang, Saadah?!” bentak Aldo pakai urat.
“Gerek pakai celurit tak iye,” olok Reno nyaring, diiringi tawa anak-anak lain, termasuk aku juga (maaf Saadah!).
Saadah tak mau kalah, membalas sengit. “Eh bebek! Nanti benar-benar aku potong pakai celurit baru tau rasa!” Bebek itu panggilan Saadah buat Reno, karena mulutnya tak bisa berhenti monyong, ngoceh tiap detik, tiap menit.
“Masih mending, bebek lebih elit! Kau? Tikus di sawah-sawah tuh, hama!”
Dan mulailah adu mulut mereka, yang biasanya membuatku tertawa-tawa sampai sakit perut. Dan kalau aku juga ikutan ngomong ke anak-anak belakang, maka aku pun turut jadi sasaran.
“Apa Ain, diamlah! Papan tulis tuh di depan,” kata Andi yang duduk paling belakang.
“Ain, ribut!” tukas Bandi di barisan seberang belakang.
Aku mengernyit. Percuma kalau aku lawan, jumlah mereka lebih banyak, jadi aku diam saja. Memasang tampang cemberut sebisa mungkin. Kalau aku diam, maka Mely lebih banyak celotehnya. Dia bakalan tukar bangku dengan Saadah, dan bercerita padaku tentang K-Pop yang diidolakannya sambil bernyanyi-nyanyi; ne mosub gudaeroga choheunde naneun… oooh ooohhh…. Nah, kalau sudah begitu, bukan aku lagi yang menjawab. Aku tak perlu membuang-buang tenagaku untuk menanggapi bahasa yang tak terlalu ku mengerti meski aku juga senang lagu-lagunya. Karena dalam waktu beberapa detik, semua anak (terutama Temon cs) bakalan berseru.
“Ngapain si Mely tuuu?”
“Apa Meeel… iiih alllaaay,”
11 12 dengan Saadah, Mely pun komentar, “berisik kalian, suka-suka gue dong,”
“Ndak? Lah lah Mely pening dah tu,” timpal Aldo, lanjut perang pantang mundur.
“Cieee cieee,” semua anak mulai menggoda mereka berdua, yang terbilang meskipun sering adu mulut, tapi di situlah letak manisnya hubungan mereka.
Kalau sudah digoda begitu, mereka berdua bakal diam, menggerutu sendiri, menolak kenyataan bahwa orang yang melihat mereka seperti itu sangat co cewit (alay! Haha) alias so sweeet!
Beda Mely dan Aldo yang pakai bentak-bentak, beda lagi dengan cewek manja keimut-imutan di kelas. Suaranya lembut mengalahkan bantal bulu guling di rumah masing-masing. Ketika guru mengabsen, “Fika Lesmana,”
Maka cewek yang duduk di ujung dekat jendela itu menanggapi namanya, “ya paaak. Di siiinnniii,” ucapnya mengacungkan tangan dengan manja, menggembungkan pipinya.
“Aduuuhhh…” sontak semua cowok ikut-ikutan ngomong lembek kayak tahu. “Heleh heleeeh….”
Reno dengan gayanya yang khas, bakalan memekik bak banci, “Phiikaaa! Phiiikaa!” Pas giliran nama Reno yang disebut, dia bakalan nambahin kata “ganteng” di belakangnya. Jelas serempak semua anak ber-huuu, dan orang paling narsis sejagat, yang sudah putus urat malunya ini akan berdiri dan ber-cup sana-sini, kecuali jika ia melihatku berlagak muntah mendengarnya menambahkan kata “ganteng” itu.
“Ain jangan kau muntah, nanti kalau ternyata kita jodoh, diam kau!”
“Iiiisshhh,” aku mendesis jijik padanya.
“Jangan ber-ish-ish Ain, jodoh Allah yang ngatur, siapa tahu juga kita bisa bersama, nikah, terus bla-bla-bla,” begitulah celotehan Reno yang terkadang terdengar memalukan dan sangat menyebalkan. Tapi itu makanan sehari-hari, semuanya tampak biasa namun luar biasa.
Ketika jam istirahat, kami akan membuka bekal masing-masing dan makan bersama-sama dengan khidmat, kadang penuh tawa. Dan setelah itu, kami belajar kembali. Kelasku ini terkenal bukan hanya kumpulan anak nakal lho, tapi yang jenius juga banyak. Para paralel (juara keseluruhan jurusan kelas IPA/IPS) dari yang terbaik berkumpul di kelasku, sehingga kontras sekali jika melihat pemandangan kelasku ini. Seimbang. Biasanya yang pintar itu jadi tumbal untuk menjawab soal ketika anak-anak lain tidak tahu. Kesannya kelasku ini serba bisa terus.
“Maju, Poppy, selesaikan,” dorong Edho semangat, suara seraknya bergaung di kelas. Kalau yang hubungannya ilmiah, jelas anak nakal mati kutu. Jika bukan Poppy yang maju, maka Afza bakalan berjalan dengan pelan ke depan dan mengambil spidol, menulis jawaban hasil pencariannya pada angka-angka yang memusingkan.
Ah, Class Sweet Class. Begitu banyak kisah-kisah indah yang lucu, jenaka, dan menggugahku untuk berusaha menyukai kelas ini. Karena seperti yang kalian ketahui, sebagian besar pendapat seluruh kelas IPA, mereka iri degan kehangatan kelasku. Kelas yang heboh penuh canda, serius di saat yang tepat, bekerja tanpa upah, kompak bersepeda bersama pagi-pagi ke sekolah apabila hari itu ada jam olahraga.
My Class Sweet Class, kelak kenangan ini takkan padam, meski terkubur sedikit demi sedikit, maka tunggulah di sini. Buatlah semakin banyak gunungan kenangan, sehingga kita tak dapat menguburnya, karena lahan ingatan yang terbatas, dan kenangan kita yang tak terbatas.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar